Rabu, 13 Agustus 2008

MILAD KE-26

Assalamu'alaikum saudaraku semua....hari ini kamis tanggal 14 agustus saya milad yang ke-26.mudah2an di hari milad ini saya tambah sholeh....tambah baik....tambah disayang sama Allah...dimudahkan rejekinya....dan berubah ke arah yang lebih baik....satu lagi.........mudah-mudahan cepat dipertemukan dengan calon istri...amien.
buat ikhwan akhwat semuanya mohon bantuan doanya ya?
syukran.................
wassalamu'alaikum wr.wb.

BAGAIMANA AGAR SHOLAT SAYA KHUSYU’ ?

Pertama-tama harus kita ketahui bahwa Allah tidak pernah memerintahkan kita untuk khusyuk dalam shalat. Dalam Al-Quran maupun hadis tidak ada satu kalimat pun yang berbentuk fi’il ‘amr (kalimat perintah) tentang khusyuk. Kenapa? Karena Allah Mahatahu bahwa manusia memang mengalami kesulitan untuk bisa khusyuk sekalipun dia itu seorang ulama atau kyai. Memang belum ada pakar tentang khusyuk dalam sejarah intelektual Islam yang benar-benar representatif.

Bahasa Al-Quran menyebut orang yang khusyuk dengan sebutan “Khâsyiûn” firman Allah : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS Al-Mu’minûn[23]:1-2)

Bentuk kata Khosyi’un, adalah bentuk Fa’il, bukan kata perintah tetapi semacam prize (penghargaan luar biasa) bahwa Anda termasuk orang-orang khusyuk. Karena itu anda sebagai fa’il, atau pelaku khusyu’.
Cukup menarik apa pernah diungkapkan oleh Syaikh ibn Atha’illah Al-Sakandari, pengarang kitab Al-Hikam. Beliau mengatakan, “Jika Anda ingin shalat khusyuk lalu Anda berusaha sekuat tenaga untuk khusyuk, Anda malah tidak bisa khusyuk.”

Inilah bukti jika seseorang yang sedang shalat dikhusyuk-khusyukkan, apalagi dadanya ditekan-tekan untuk khusyuk akhirnya malah tidak bisa khusyuk. Kenapa? Karena keinginan Anda untuk khusyuk itu merupakan bagian dari hawa nafsu. Hawa nafsu untuk ingin khusyuk, oleh sebab itu Anda malah terhalang dari khusyuk itu sendiri.

Lalu bagaimana caranya khusyuk? Beliau melanjutkan: “Caranya khusyuk, yaitu ketika Anda menyadari bahwa shalat Anda tidak khusyuk itu adalah Takdir dari Allah. Terimalah takdir Allah saat itu bahwa Anda tidak atau belum ditakdirkan khusyuk. ” Ya Allah, aku terima bahwa saat ini aku belum bisa khusyuk.” Kelak anda dihantar khusyu’ oleh Allah. Jadi Al-khusyuk itu lebih semacam sebagai al-ahwâl itu sendiri Apakah Ahwal itu?
Jika disebut: Laa haula wala Quwwata Illa Billah. Artinya, Tidak ada kekuatan secara batin dan kekuatan lahir kecuali bersama Allah. Karena dari kalimat haulun ini berkembang jamaknya menjadi ahwâl. Ini adalah kondisi ruhaniah, ketika kita khusyuk, masuklah di dalam ahwâl al-qalb, karena itu merupakan gerak gerik qalbu kita.

Khusyuk itu tentu bersemayam di dalam hati, bukan dalam tingkah laku. Jika Anda berjalan dengan menekuk leher anda, menunduk, itu tidak bisa dibilang bahwa anda orang yang khusyuk. Dulu ada seorang pemuda yang seperti itu, lalu dibentak oleh Sayyidina Umar r.a, “Hai fulan khusyuk itu bukan di situ, (khusyuk itu di dada Anda).

Elemen Khusyu’
Jadi, khusyuk itu membutuhkan elemen-elemen yang mendukung. Dukungan khusyuk itu antara lain al-Khudhu’. Khudhu’ artinya ketundukan hati kepada Allah. Orang khusyuk juga harus mempunyai perasaan al-tawakkul (kepasrahan). Tawakkul artinya ketika kita shalat, zikir menghadap Allah, mestinya hati kita juga harus pasrah menghadap kepada Allah. Jiwa anda, bagaikan sajadah yang anda gelar. “Ya Allah, inilah saya, apa adanya, kupasrahkan lahir batin saya ke[padaMu…”.

Anda, jangan menghadap Allah, seperti orang yang mengajukan proposal. “Ya Allah, sudah sekian tahun saya sujud, zikir, wirid, tahajud, maka saya mohon dipenuhi permintaan saya….”

Pada saat itu seseorang merasa menutupi kelemahannya. Dia melebih-lebihkan dirinya, padahal Allah itu butuh as-sidqu, (kejujuran hati), bukan kejujuran mulut. Allah Mahasenang kepada orang-orang yang jujur di hadapan-Nya. “Ya Allah, saya ini lebih banyak jeleknya daripada baiknya….” Allah lebih senang pada orang seperti itu, daripada yang mengatakan, “Ya Allah, saya sudah melakukan ini, dan itu… namun doa saya belum juga dikabulkan….” Lebih baik bicara apa adanya kepada Allah. Itulah antara lain usaha untuk khusyuk.

Selanjutnya, dalam Al-Quran disebutkan:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah” (QS Al-Hadîd [57]:16)
Dzikrullah, merupakan elemen utama dalam Khusyuk. Dzikrullah di situ secara spesifik disebutkan sebagai mata uang dengan dua sisi, yaitu khusyuk dan zikrullah. Karena itu sejumlah ulama kemudian membangun satu metode bagaimana agar seseorang bisa khusyuk. Ada yang mengatakan, jika Anda ingin shalat khusyuk, ingatlah makna-makna di dalam shalat.

Lalu, bagaimana jika seseorang tidak mengetahui maknanya apakah dia bisa shalat khusyuk?
Saya ingin sedikit memberi solusi yang sedikit berbau filosofis tentang khusyuk. Ada seorang ulama sufi menegaskan, jika Anda ingin khusyuk, seluruh bacaan yang Anda baca itu, Anda maknai Allah…Allah…Allah… semua, bukan makna yang lainnya. Jadi, Basamalah pun, artinya “Allah”.

Sayyida Utsman bin Affan r.a. pernah meriwayatkan satu hadis. Rasulullah ditanya oleh sahabat Nabi di dalam satu forum, “Kalau Al-Quran itu bukan makhluk, lalu apakah huruf hijaiyah itu makhluk?” Dijawab oleh Rasulullah: La, Huruf Hijaiyah itu bukan makhluk; Alif, Baa’, Taa’ sampai Ya’ itu juga bukan makhluk, Rasulullah melanjutkan: Alif itu asma Allah, ta’ juga asma Allah, sampai ya’ itu Asma Allah. Jadi Asmâul husna yang 99 itu sebenarnya kalau dalam struktur organisasi itu semacam Dewan Pengurus Pusat (DPP-nya) Asmaul Husna. Sedangkan di atas DPP-nya itu adalah Huruf Hijaiyah. Ini semacam kunci bahwa Allah benar-benar menyertai dan mengawal apa pun bentuk ucapan, wacana, kata, dan huruf.

Karena itu, seorang sufi mengomentari hadis tersebut: Jika Anda bicara, menulis, berucap, berucaplah yang baik, karena Anda menggunakan Nama-nama Allah untuk menyampaikan kata-kata Anda. Anda yang memaki orang, berbicara jorok, berarti menggunakan Nama Allah untuk ucapan kotor. Jika Nama-nama Allah dipakai untuk hal-hal seperti itu, awal dosa mulai tercatat, karena kita memanipulasi Nama-nama Tuhan untuk kepentingan hawa nafsu kita, produknya adalah kalimat yang jorok, misalnya.

Oleh sebab itu, ulama sufi itu melanjutkan, jika Anda ingin shalat khusyuk, maka ketika membaca Basmalah (bismillahirrahmanirrahim), jika artinya “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”, hanyalah arti menurut “pikiran kita,” tapi menurut akal kita, Basmalah itu artinya tidak demikian. Basmalah itu sesungguhnya, merupakan kristalisasi dari seluruh Nama-nama Allah. Semua Nama-nama Allah mengerucut, bermuara, satu ke arah Al-Rahmân, satu ke arah lagi ke Al-Rahîm. Al-Rahmân yang disebut sebagai kristalisai dari Asma’ Jalaliyah-Nya, sedangkan al-Rahîm untuk asma Jamaliyah. Kedua nama ini masuk dalam Asma yang disebut ism al-a ‘dham, yaitu “Allah.”

Bukan Perantara
Ada satu hal yang harus disadari, bahwa shalat itu bukan sebagai suatu perantara menuju Allah. Shalat itu menjalankan perintah, jangan dianggap shalat itu sebagai syariat atau jalan, jadi kalau kita sudah sampai kita tidak usah shalat. Itu merupakan jebakan filosofis. Shalat itu menjalankan perintah, yaitu perintah Allah kepada kita sebagai hamba Allah. Jika kita bukan hamba Allah, kita tidak menjalankan perintah-perintah-Nya. Jadi inilah esensi khusyuk, dengan elemen tunduknya hati, kepasrahan, kejujuran hati dan mengetuk hati dengan nama Allah, menghantar kita untuk khusyuk.

Khusyuk itu sebagai wujud anugerah dari ahwâl al-qalb, gerak-gerik hati, amaliah qalbu kita. Khusyuk tidak hanya ketika kita shalat, namun ketika kita melakukan aktivitas apa saja mestinya hati kita senantiasa berzikir (mengingat) Allah. Ketika bekerja, jangan sampai kita kehilangan Allah. Kita melatih hati, misalnya: mengetik di komputer, pikirannya membaca, akalnya menganalisa, hatinya berbunyi Allah. Tanpa latihan, itu takkan tercapai, bahkan dilatih saja masih sulit, apalagi yang tidak pernah melatih dzikirnya sama sekali.

Bagi para ibu mungkin bisa melatih diri ketika menonton sinetron “sabun” yang sangat dramatis. Ketika menonton tv, pikiran kita melihat ceritanya, namun hati kita bersama Allah. Jika hati kita bersama Allah, ketika ceritanya sedih, kita tak ikut menangis, ketika ceritanya lucu juga tak ikut tertawa.

Di samping mengingat Allah ketika berdiri, juga mengingat Allah ketika duduk, dan bahkan ketika tidur. Bagaimana tidur yang berzikir itu? Yaitu setelah membaca doa-doa tidur, tetap berzikir untuk mengingat Allah (istigfar, subhanAllah, Allah…Allah… dsb) sampai pulas kita tetap berzikir. Jika Allah ingin memberi pahala bagi orang yang berzikir, walaupun Anda ‘ngorok’, akan tetap dihitung oleh Allah, karena pada saat itu hati kita selalu dijaga Allah.

Bahkan menurut cerita dari kitab Syarhul Hikam, ada salah seorang sufi, ketika ia melakukan hubungan suami isteri, tetap berzikir dalam hati. Sufi ini mempunyai putra banyak sekali dan masih kecil-kecil, lalu ada rombongan ulama datang. Putra Syaikh ini lari-lari menuju ayahnya, ayahnya memangkunya, lalu sang anak kecil ini protes: “Ayah saya ini masih ber-‘bunyi’, kenapa Ayah memangku saya? Syaikh ini berkata kepada rombongan ulama: “Itu tadi anak saya, maksudnya ber‘bunyi’ yaitu dadanya berbunyi Allah, Allah.” Salah satu ulama protes: “Wahai Syaikh, kenapa si kecil itu sudah diajari tarekat.” Dijawab oleh Syaikh: “Kata Rasulullah, (Carilah ilmu dari ayunan sampai liang lahat), lebih baik anak saya sejak lahir bahkan dalam kandungan sudah saya ajari zikir. Pertama kali kalimat yang didengar oleh anak saya, ketika lahir di dunia harus nama Allah, anak-anak saya semua dadanya berzikir.” Akhirnya para ulama itu berpikir: “Bagaimana agar mempunyai seorang anak seperti anak Syaikh ini?” Akhirnya Syaikh tersebut menjelaskan: agar anak-anak Anda berzikir semua, maka ketika Anda melakukan hubungan suami istri, Anda harus mempunyai wudhu dan sampai akhir harus berzikir, setelah selesai, langsung mandi dan shalat sunnah. Jika Allah menakdirkan anak itu lahir, insya Allah akan memiliki bahan baku zikir yang luar biasa. SubhanAllah!

Selasa, 12 Agustus 2008

Bingung

bingung mau posting apa ya?

Gimana Sih Biar jadi |Seorang Ikhwan

assalamu'alaikum

gimana ya biar jadi seorang ikhwan??
bimbing saya ya?
syukron..

wassalamu'alaikum

Dikala Ikhwan Harus Memilih 2 Akhwat

ya Rabb...........
hamba bingung akhwat mana yang harus saya pilih sebagai pendamping hidup
akhwat yang satu sudah kerja dan sambil kuliah di PTS....akhwat yang kedua masih kuliah di UNPAD..............
hanya Engkau yang Maha mengetahui apa yang terbaik buat hambannya..
semoga akhwat yang saya pilih nanti.....adalah akhwat yang terbaik menurtMU ya Rabb
amien

Perjuangan Mencari Rejeki Karena Allah

pagi ini saya berangkat kerja dari rumah jam 05.00 WIB
baru berjalan sekitar 10 menit tiba2 hujan lebat....karena nggak bawa mantel akhirnya saya menepi...berteduh diteras toko.
hujan sedikit reda,saya lanjutkan perjalanan...hujan lebat lagi...saya menepi lagi...
jam 05.45 ( waduh.....telat kerja nih ) saya ambil telp dan sms ke boz...."maaf boz saya telat kejebak hujan dan macet" disaat hujan yang lebat ada kecelakaan sebuah mobil box terguling ditengah jalan...hal itu menyebabkan macet yang panjang...
dengan merangkak2 motor saya laju terus dan akhirnya sampe di perusahaan jam 07.00 WIB...:maaf pak satpam saya telat " hanya ucapan itu yang bisa keluar dari mulut saya..karena baju dan celana basah kuyub. "masuk aja pak langsung " kata pak satpam....alhamdulillah akhirnya saya bole masuk walaupun telat 1 jam....
dengan baju yag basah kuyub dan dinginnnnnnnnnnnnnnnnnnn..saya memulai pekerjaan saya....sampai pulang jam 15.00 WIB..
Ya Allah terima kasih Engkau telah memberi kemudahan di hari ini.....demi mencari sesuap nasi....
Betapa besar keagunganMU ya Rabb....
Engkau selalu membimbing hambamu ini untuk bersabar...........
Banyak hal yang bisa saya ambil hikmahnya dari kejadian hari ini
baru kehujanan 1 jam saya sudah mengeluh.....bagaimana dengan saudara-saudara kita yang tidak mempunyai tempat tinggal...selalu kehujanan dan kedinginan setiap musim hujan..
ya Rabb betapa besar nikmat dan rejeki yang Engkau berikan.....maafkan saya yang kadang khilaf mensyukuri nikmatMU ya Rabb..
bimbinglah selalu hambaMu ini ya Rabb...

Minggu, 10 Agustus 2008

Ikhwan nyari gebetan?

Ikhwan nyari gebetan? Gak salah nih? Eit, jangan su’udzon dulu ya. Meski panggilan ikhwan identik dengan cowok pengajian, mereka juga kan manusia. Sama seperti cowok laen. Punya rasa punya hati dan nggak punya antivirus merah jambu. Itu artinya, ikhwan juga bisa kepeleset jatuh hati ama pesona lawan jenisnya. Terutama pada kalangan cewek pengajian yang biasa dijuluki akhwat. Soalnya mereka kan beraktivitas pada dunia yang sama. Dunia dakwah gitu, lho. Wajar dongs!

Bedanya ama cowok laen, cowok pengajian mungkin lebih punya pertimbangan mateng untuk jatuh cintrong. Ciiee, sori bukan narsis lho. So, nyari gebetan di sini bukan berarti nyari gandengan yang bisa diajak kencan atau jalan berduaan. Tapi untuk diajak serius melabuhkan cintanya di jalan yang halal. Loving you, Merit yuk? Enak..enak..enak..!

Nah, kali ini kita mo ngorek informasi dari temen-temen ikhwan seputar komentar tentang Liga Champions, eh tentang akhwat idaman mereka. Informasi berharga nih. Penasaran? Yuk!


Akhwat idaman di mata ikhwan

Ngobrolin soal akhwat nggak bisa lepas dari sikap, karakter, dan aktivitas dakwahnya yang dengan mudah tercium oleh ikhwan. Ada yang lincah kayak bola bekel, ada yang rame mirip Nirina Zubir, ada yang aktif banget sampe nggak terlalu mikirin penampilan yang seadanya, dan lain sebagainya. Pokoknya mah bervariasi banget deh. Tapi, seperti apa sih akhwat yang disukai ikhwan?

Seorang teman dari negeri jiran, Hadi, via FS (Friendster)-nya ngasih komentar: “..perempuan yang aku suka adalah sejuk mata memandang dek terlihat keluhuran akhlaknya menjadi sumber ketenangan jiwa bila hati bergelora”.

Kalo menurut ‘penkhianatyangtelahmusnah (pytm)’ dalam YM(Yahoo Messenger)-nya, “yang jelas ngaji. Masalah pendiem, kalem, jaim, rame itu mah selera. Rame asyik dibawa ngobrol. Kalem asik kayak punya bidadari yang bisa diapain. Hahaha…”

Lain lagi pendapat Zubair, mahasiswa ITB (Kimia) 2002, akhwat yang disukainya adalah yang….”Pandai berkomunikasi dalam bentuk verbal, sehingga dengan modal dasar ini mudah-mudahan setiap masalah yang ada mampu dikomunikasikan dan diselesaikan dengan kepala dingin, bahkan jadi modal yg sangat cukup untuk dakwah”.

Gimana dengan akhwat yang agak agre. Maksute, akhwat yang punya inisiatif berjuang setengah hidup nyari info tentang ikhwan idamannya. Walau diam-diam, tapi aktif tanya sana-sini-situ. Mungkin udah ngebet kali ye ama ikhwan incarannya en takut keburu dicantol ama yang laen. Hehehe….

‘pytm’ dan ‘javanehese2000’ bilang saat chatting, akhwat agre bukan tipe yang disukainya. Lantaran khawatir timbul fitnah bin gosip yang nggak bisa dipertanggungjawabkan. Mereka lebih suka yang kalem. Akhwat banget, gitu lho. Rada pendiem en bisa jaim di tempat umum. Mungkin tipe-tipe akhwat yang nunggu diajuin proposal ama ikhwan gitu deh. Kayak mo tujuh belasan pake ngajuin proposal? Hihihi…

Tapi bagi Zubair, akhwat agre adalah tipe kesukaannya. “…karena kalo orangnya terlalu pendiem, kita nggak tau secara persis keadaan dia kayak gimana, kalo agresif alias ekspresif kan enak tuh, kalo ada masalah ketahuan jadi mungkin kita bisa bantu tolong.” Dengan kata lain, doi nggak gitu nyetel ama akhwat yang kalem, “... soalnya kalo yang kalem susah ditebak isi hatinya”.

Oh ya, untuk tipe agresif meski nggak umum di kalangan akhwat, bukan berarti ‘cela’ lho. Karena Siti Khadijah pun termasuk yang ‘agresif’ hingga berani menawarkan diri kepada Muhammad bin Abdullah setelah terpikat oleh sifat dan karakter beliau.

Oke deh sobat, itu segelintir komentar temen-temen ikhwan tentang tipe akhwat yang disukainya. Yang pasti, mau yang agre ataupun kalem, semuanya sama baiknya selama sholehah. Tinggal pandai-pandainya kita aja mensikapinya. Dan yang nggak kalah pentingnya, akhwat yang bersangkutan suka juga ama kita. Biar nggak bertepuk sebelah tangan. Huehehe...


FBI= Female Bidikan Ikhwan

Sobat, dari komentar ikhwan-ikhwan yang kena todong STUDIA pas ditanya soal akhwat idaman, mereka nangkepnya lagi ditanya soal sosok yang bakal jadi istrinya. Geer banget kan? Tapi wajar aja sih kalo kegeeran, itu kan gejala normal seorang jomblo. Padahal untuk calon istri, mungkin lebih khusus lagi kriterianya. Kayak gimana sih?

Menurut Anas, “Tipe yang Anas suka..tipe yang memang benar-benar pantas jadi istri. Simpel kan? Dia harus bisa jadi benteng pertama dari sisi apapun bagi anak-anaknya..karena (mungkin) tugas suami adalah mencari nafkah (cenderung keluar)..”

Kalo pendapat Zubair, “...Sopan, cukup ekspresif, pandai komunikasi, wajah lumayan cantik, kulitnya putih kalo bisa enn sabar. Bahkan kalo ada sih yang ilmu keislamannya baik + akhlaknya baik, jadi bisa ngingetin kita kalo salah...”

Namun kini, kondisi yang meminta kehadiran wanita di dunia kerja tak bisa dihindari. Ada aja akhwat yang sudah kerja di kantoran, menjadi buruh pabrik, atau pengen kerja meski udah merit. Gimana dengan akhwat model gini?

Kalo buat pytm, “..pengennyah sih punya istri tuh di rumah ajah. Meski bisa dongkrak ekonomi dalam negeri, tapi tetep ajah amanah di rumah lebih gede. Boleh kerja tapi di sekitar rumah. Ga boleh jauh. Trus yang ringan. Jadi guru TK ato apalah...”

Sobat, sosok FBI alias female bidikan ikhwan sepertinya nggak harus punya kelebihan secara fisik, status sosial, suku, status pendidikan, atau dandanan. But, nggak berarti cuek banget, hanya saja bukan prioritas. Itu aja kok. Nggak lebih.


Syakhsiyahmu yang kumau

Bagi bagi seorang ikhwan, mikir-mikir dulu kalo mau menominasikan lawan jenis yang cuma punya kelebihan di penampilan fisik sebagai idaman. Apa pasal?

Pertama, penampilan fisik itu sifatnya sementara. Bakal habis bin pudar dimakan usia atau bisa rusak karena musibah. Kalo kita matok rasa suka bin cinta cuma lantaran fisik, siap-siap aja kehilangan keindahan yang memikat kita itu. Nggak bener-bener cinta tuh kayaknya.

Kedua, lawan jenis yang diidamkan bukan cuma untuk mengisi ruang khayal semata, jadi bahan gosipan di antara teman, atau buat nemenin ke kondangan. Lebih dari itu, akhwat idaman berarti seseorang yang ditargetkan untuk menjadi istri, ibu dari anak-anak, mitra dakwah, sekaligus seorang sahabat dekat yang mengingatkan kala khilaf dan memompa semangat kita saat dirundung musibah. Semua peran itu dilahirkan dari pemahaman Islam dan kedewasaan dalam bersikap pada diri seorang akhwat, bukan dari penampilan fisik. Catet tuh!

Kondisi ini mengingatkan kita pada sebuah hadits: “Tiga kunci kebahagiaan seorang laki-laki adalah istri shalilah yang jika dipandang membuatmu semakin sayang dan jika kamu pergi membuatmu merasa aman, dia bisa menjaga kehormatanmu, dirinya, dan hartamu; kendaraan yang baik yang bisa mengantar ke mana kamu pergi; dan rumah yang damai yang penuh kasih sayang.” (M. Fauzhil Adhim, ‘Kupinang Engkau dengan Hamdallah’)

Nah sobat, sepertinya kepribadian (syakhsiyah) seorang akhwat yang tercermin dalam caranya berpikir dan bersikap sesuai aturan Islam layak jadi ukuran standar bagi kaum Adam untuk memilih istri. Kalo emang bener mo ngebangun rumah tangga yang sakinah mawahdah, wa rohmah. Tapi bukan berarti kita ngelarang kamu pake pertimbangan fisik lho. Silahkan aja kalo mo pake standar ideal: cantik, kaya, sholihah, dan mau ama kita. Tapi kalo kriteria itu nggak ada, cukup asal mau ama kita, sholihah, kaya dan cantik. Yeee...itu mah sama aja atuh!

Ups! Maksute relakanlah predikat sholehah dari seorang wanita yang menerima cinta kita mengalahkan ego kita untuk dapetin yang cantik atau tajir. Yakin deh, selalu ada inner beauty dan kekayaan yang tak ternilai oleh materi pada diri seorang wanita sholehah (pengalaman nih ceritanya, huhuy!). Yes!

Rasulullah saw. bersabda: “Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya semata, boleh jadi kecantikannya itu akan membawa kehancuran. Dan janganlah kalian menikahi wanita karena kekayaannya semata, boleh jadi kekayaannya itu akan menyebabkan kesombongan. Tapi nikahilah wanita itu karena agamanya, sesungguhnya budak wanita yang hitam lagi cacat, tetapi taat beragama adalah lebih baik (daripada wanita kaya dan cantik yang tidak taat beragama).” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi)


Jangan egois donk!

Allah swt berfirman:

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). ..” (QS an-Nûr [24]: 26)

Dari ayat itu, Allah emang Maha Adil. Dia menjanjikan wanita yang baik untuk pria yang baik pula. Sebagaimana layaknya Aisyah r.a. menjadi istri Nabi saw. Pria yang tidak baik untuk wanita yang tidak baik pula. Itu berarti kalo pengen dapetin akhwat yang sholehah, kita juga kudu sholeh dong. Jangan cuma mikirin keinginan diri sendiri. Nggak adil tuh. Mengidamkan akhwat yang baik tapi kitanya sendiri jeblok. Karena kaum hawa juga berhak mendapatkan tipe-tipe primus alias pria mushola yang sholeh. Tul nggak sih?

Makanya kita jangan egois. Kita juga punya kewajiban yang sama seperti kaum Hawa untuk memoles kepribadian dan menghiasinya dengan akhlak Islam. Percaya deh, syakhsiyah Islam akan membantu kita untuk lebih bijak dalam mensikapi hidup. Kita jadi punya standar untuk berbuat atau menilai suatu perbuatan. Termasuk dalam memilih istri. Nggak asal nunjuk. Trus, di mana kita bisa dapetin syakhsiyah Islamiyah?

Yang pasti, syakhsiyah Islam nggak dijual bebas di pinggiran jalan, klub malem, pub, atau diskotek. Tapi kita bisa dengan mudah dapetinnya di forum-forum pengajian. Yup, di tempat pengajian kita diperkenalkan lebih dalam dengan Islam dan aturan hidupnya yang sempurna dan cocok buat kita. Ini yang bisa menjadi benih tumbuhnya syakhsiyah Islamiyah. Perlu perawatan yang rutin dengan getol mengkaji Islam jika kita ingin pertumbuhannya sesuai dengan yang diharapkan.

Dengan dibubuhi pupuk keikhlasan semata-mata ingin dapetin ridha Allah (bukan cuma pengen dapet calon istri solihah.. ehm..), syaksiyah Islam akan mengantarkan kita pada predikat kemuliaan. Di hadapan manusia, dan yang menciptakan manusia. Bukankah ini yang kita harapkan?
So, jangan tunggu hari esok. Mari kita sama-sama menjadi bagian dari generasi anak ngaji (Ngaji Generation). Membentuk syakhsiyah pada diri kita dan menanamkan akhlakul karimah (akhlak yang mulia). Sekaligus memperkuat barisan perjuangan untuk memuliakan diri kita, Islam, dan kaum Muslimin di seluruh dunia. Moga-moga Allah masukin kita dalam daftar orang-orang yang berhak dapetin pasangan hidup yang sholeh/sholehah. Mau dong? Yuuuk!

Keajaiban Alam



pohon tunduk dan lebah yang menulis

UKHUWAH

Ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai
"persaudaraan", terambil dari akar kata yang pada mulanya
berarti "memperhatikan". Makna asal ini memberi kesan bahwa
persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang
merasa bersaudara.
Boleh jadi, perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya
persamaan di antara pihak-pihak yang bersaudara, sehingga
makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya ukhuwah
diartikan sebagai "setiap persamaan dan keserasian dengan
pihak lain, baik persamaan keturunan, dari segi ibu, bapak,
atau keduanya, maupun dari segi persusuan". Secara majazi kata
ukhuwah (persaudaraan) mencakup persamaan salah satu unsur
seperti suku, agama, profesi, dan perasaan. Dalam kamus-kamus
bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang membentuk kata
ukhuwah digunakan juga dengan arti teman akrab atau sahabat.
Masyarakat Muslim mengenal istilah ukhuwmah Islamiyyah.
Istilah ini perlu didudukkan maknanya, agar bahasan kita
tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terlebih
dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan
kedudukan kata Islamiah dalam istilah di atas. Selama ini ada
kesan bahwa istilah tersebut bermakna "persaudaraan yang
dijalin oleh sesama Muslim", atau dengan kata lain,
"persaudaraan antar sesama Muslim", sehingga dengan demikian,
kata "Islamiah" dijadikan pelaku ukhuwah itu.
Pemahaman ini kurang tepat. Kata Islamiah yang dirangkaikan
dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai adjektifa,
sehingga ukhuwah Islamiah berarti "persaudaraan yang bersifat
Islami atau yang diajarkan oleh Islam." Paling tidak, ada dua
alasan untuk mendukung pendapat ini.
Pertama, Al-Quran dan hadis memperkenalkan bermacam-macam
persaudaraan, seperti yang akan diuraikan selanjutnya.
Kedua, karena alasan kebahasaan. Di dalam bahasa Arab, kata
sifat selalu harus disesuaikan dengan yang disifatinya. Jika
yang disifati berbentuk indefinitif maupun feminin, kata
sifatnya pun harus demikian. Ini terlihat secara jelas pada
saat kita berkata ukhuwwah Islamiyyah dan Al-Ukhuwwah
Al-Islamiyyah.
UKHUWAH DALAM AL-QURAN
Dalam Al-Quran, kata akh (saudara) dalam bentuk tunggal
ditemukan sebanyak 52 kali. Kata ini dapat berarti.
1. Saudara kandung atau saudara seketurunan, seperti pada ayat
yang berbicara tentang kewarisan, atau keharaman mengawini
orang-orang tertentu, misalnya,
Diharamkan kepada kamu (mengawini) ibu-ibumu,
anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu,
saudara-saudara perempuan bapakmu, saudara-saudara
perempuan ibumu, (dan) anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki ... (QS Al-Nisa [4]:
23)
2. Saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga, seperti bunyi
doa Nabi Musa a.s. yang diabadikan Al-Quran,
Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari
keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku (QS Thaha [20]:
29-30).
3. Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama seperti
dalam firman-Nya,
Dan kepada suku 'Ad, (kami utus) saudara mereka Hud
(QS Al-A'raf [7]: 65).
Seperti telah diketahui kaum 'Ad membangkang terhadap ajaran
yang dibawa oleh Nabi Hud, sehingga Allah memusnahkan mereka
(baca antara lain QS Al-Haqqah [69]: 6-7).
4. Saudara semasyarakat, walaupun berselisih paham.
Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing
betina, dan aku mempunyai seekor saja, maka dia
berkata kepadaku, "Serahkan kambingmu itu kepadaku";
dan dia mengalahkan aku di dalam perdebatan (QS Shad
[38]: 23).
Dalam sebuah hadis, Nabi Saw. bersabda.
Belalah saudaramu, baik ia berlaku aniaya, maupun
teraniaya.
Ketika beliau ditanya seseorang, bagaimana cara membantu orang
yang menganiaya, beliau menjawab,
Engkau halangi dia agar tidak berbuat aniaya. Yang
demikian itulah pembelaan baginya. (HR Bukhari melalui
Anas bin Malik)
5. Persaudaraan seagama.
Ini ditunjukkan oleh firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat
10
Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara.
Di atas telah dikemukakan bahwa dari segi bahasa, kata ukhuwah
dapat mencakup berbagai persamaan. Dari sini 1ahir lagi dua
macam persaudaraan, yang walaupun secara tegas tidak disebut
oleh Al-Quran sebagai "persaudaraan", namun substansinya
adalah persaudaraan. Kedua hal tersebut adalah:
1. Saudara sekemanusiaan (ukhuwah insaniah).
Al-Quran menyatakan bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah
dari seorang lelaki dan seorang perempuan (Adam dan Hawa) (QS
Al-Hujurat [49]: 13). Ini berarti bahwa semua manusia adalah
seketurunan dan dengan demikian bersaudara.
2. Saudara semakhluk dan seketundukan kepada Allah.
Di atas telah dijelaskan bahwa dari segi bahasa kata akh
(saudara) digunakan pada berbagai bentuk persamaan. Dari sini
1ahir persaudaraan kesemakhlukan. Al-Quran secara tegas
menyatakan bahwa:
Dan tidaklah (jenis binatang yang ada di bumi dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya)
kecuali umat-umat juga seperti kamu (QS Al-An'am [6):
38).
MACAM-MACAM UKHUWAH ISLAMIAH
Di atas telah dikemukakan arti ukhuwah Islamiah, yakni ukhuwah
yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam. Telah
dikemukakan pula beberapa ayat yang mengisyaratkan bentuk atau
jenis "persaudaraan" yang disinggung oleh Al-Quran. Semuanya
dapat disimpulkan bahwa kitab suci ini memperkenalkan paling
tidak empat macam persaudaraan:
1. Ukhuwwah 'ubudiyyah atau saudara kesemakhlukan dan
kesetundukan kepada Allah.
2. Ukhuwwah insaniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat
manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari
seorang ayah dan ibu. Rasulullah Saw. juga menekankan lewat
sabda beliau,
Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.
Hamba-hamba Allah semuanya bersaudara.
3. Ukhuwwah wathaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam
keturunan dan kebangsaan.
4. Ukhuwwah fi din Al-Islam, persaudaraan antar sesama Muslim.
Rasulullah Saw. bersabda,
Kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita
adalah yang datang sesudah (wafat)-ku.
Makna dan macam-macam persaudaraan tersebut di atas adalah
berdasarkan pemahaman terhadap teks ayat-ayat Al-Quran.
Ukhuwah yang secara jelas dinyatakan oleh Al-Quran adalah
persaudaraan seagama Islam, dan persaudaraan yang jalinannya
bukan karena agama. Ini tecermin dengan jelas dari pengamatan
terhadap penggunaan bentuk jamak kata tersebut dalam Al-Quran,
yang menunjukkan dua arti kata akh' yaitu:
Pertama, ikhwan, yang biasanya digunakan untuk persaudaraan
tidak sekandung. Kata ini ditemukan sebanyak 22 kali sebagian
disertakan dengan kata ad-din (agama) seperti dalan surat
At-Taubah ayat 11.
Apabila mereka bertobat, melaksanakan shalat, dan
menunaikan zakat, mereka adalah saudara-saudara kamu
seagama.
Sedangkan sebagian lain tidak dirangkaikan dengan kata ad-din
(agama) seperti:
Jika kamu menggauli mereka (anak-anak yatim), mereka
adalah saudara-saudaramu (QS Al-Baqarah [2]: 220).
Teks ayat-ayat tersebut secara tegas dan nyata menunjukkan
bahwa Al-Quran memperkenalkan persaudaraan seagama dan persaud
araan tidak seagama.
Bentuk jamak kedua yang digunakan oleh Al-Quran adalah ikhwat,
terdapat sebanyak tujuh kali dan digunakan untuk makna
persaudaraan seketurunan, kecuali satu ayat, yaitu,
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara (QS
A1-Hujurat [49]: 10).
Menarik untuk dipertanyakan, mengapa Al-Quran menggunakan kata
ikhwah dalam arti persaudaraan seketurunan ketika berbicara
tentang persaudaraan sesama Muslim, atau dengan kata lain,
mengapa Al-Quran tidak menggunakan kata ikhwan, padahal kata
ini digunakan untuk makna persaudaraan tidak seketurunan?
Bukankah lebih tepat menggunakan kata terakhir, jika melihat
kenyataan bahwa saudara-saudara seiman terdiri dari banyak
bangsa dan suku, yang tentunya tidak seketurunan?
Menurut penulis, hal ini bertujuan untuk mempertegas dan
mempererat jalinan hubungan antar sesama-Muslim, seakan-akan
hubungan tersebut bukan saja dijalin oleh keimanan (yang di
dalam ayat itu ditunjukkan oleh kata al-mu'minun), melainkan
juga "seakan-akan" dijalin oleh persaudaraan seketurunan (yang
ditunjukkan oleh kata ikhwah). Sehingga merupakan kewajiban
ganda bagi umat beriman agar selalu menjalin hubungan
persaudaraan yang harmonis di antara mereka, dan tidak satupun
yang dapat dijadikan dalih untuk melahirkan keretakan
hubungan.
FAKTOR PENUNJANG PERSAUDARAAN
Faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas ataupun
sempit adalah persamaan. Semakin banyak persamaan akan semakin
kokoh pula persaudaraan. Persamaan rasa dan cita merupakan
faktor dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki,
dan pada akhirnya menjadikan seseorang merasakan derita
saudaranya, mengulurkan tangan sebelum diminta, serta
memperlakukan saudaranya bukan atas dasar "take and give,"
tetapi justru
Mengutamakan orang lain atas diri mereka, walau diri
mereka sendiri kekurangan (QS Al-Hasyr [59]: 9).
Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan
nyaman pada saat berada di antara sesamanya, dan dorongan
kebutuhan ekonomi merupakan faktor-faktor penunjang yang akan
melahirkan rasa persaudaraan.
Islam datang menekankan hal-hal tersebut, dan menganjurkan
mencari titik singgung dan titik temu persaudaraan. Jangankan
terhadap sesama Muslim, terhadap non-Muslim pun demikian (QS
Ali 'Imran [3]: 64) dan Saba [34): 24-25).
PETUNJUK AL-QURAN UNTUK MEMANTAPKAN UKHUWAH
Guna memantapkan ukhuwah tersebut, pertama kali Al-Quran
menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku
dalam kehidupan ini. Selain perbedaan tersebut merupakan
kehendak Ilahi, juga demi kelestarian hidup, sekaligus demi
mencapai tujuan kehidupan makhluk di pentas bumi.
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki,
niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah
hendak menguji kamu mengenai pemberian-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS
Al-Ma-idah [5]: 48).
Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat, niscaya
diciptakan-Nya manusia tanpa akal budi seperti binatang atau
benda-benda tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah
dan memilih, karena hanya dengan demikian seluruhnya akan
menjadi satu pendapat.
Dari sini, seorang Muslim dapat memahami adanya pandangan atau
bahkan pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya, karena
semua itu tidak mungkin berada di luar kehendak Ilahi.
Kalaupun nalarnya tidak dapat memahami kenapa Tuhan berbuat
demikian, kenyataan yang diakui Tuhan itu tidak akan
menggelisahkan atau mengantarkannya "mati", atau memaksa orang
lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan
agamanya,
Sungguh kasihan jika kamu akan membunuh dirimu karena
sedih akibat mereka tidak beriman kepada keterangan
ini (Islam) (QS Al-Kahf [18]: 6).
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman
semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka
apakah kamu akan memaksa semua manusia agar menjadi
orang-orang yang beriman? (QS Yunus [10]: 99).
Untuk menjamin terciptanya persaudaraan dimaksud, Allah Swt.
memberikan beberapa petunjuk sesuai dengan jenis persaudaraan
yang diperintahkan. Pada kesempatan ini, akan dikemukakan
petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan persaudaraan secara
umum dan persaudaraan seagama Islam.
1. Untuk memantapkan persaudaraan pada arti yang umum, Islam
memperkenalkan konsep khalifah. Manusia diangkat oleh Allah
sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut manusia untuk
memelihara, membimbing, dan mengarahkan segala sesuatu agar
mencapai maksud dan tujuan penciptaannya. Karena itu, Nabi
Muhammad Saw. melarang memetik buah sebelum siap untuk
dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar, atau menyembelih
binatang yang terlalu kecil. Nabi Muhammad Saw. juga
mengajarkan agar selalu bersikap bersahabat dengan segala
sesuatu sekalipun terhadap benda tak bernyawa. Al-Quran tidak
mengenal istilah "penaklukan alam", karena secara tegas
Al-Quran menyatakan bahwa yang menaklukkan alam untuk manusia
adalah Allah (QS 45: 13). Secara tegas pula seorang Muslim
diajarkan untuk mengakui bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan
untuk menundukkan sesuatu kecuali atas penundukan Ilahi. Pada
saat berkendaraan seorang Muslim dianjurkan membaca,
Mahasuci Allah yang menundukkan ini buat kami, sedang
kami sendiri tidak mempunyai kesanggupan
menundukkannya (QS Al-Zukhruf [43]: 13).
2. Untuk mewujudkan persaudaraan antar pemeluk agama, Islam
memperkenalkan ajaran,
Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS 109: 6), dan
Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu.
Tidak (perlu ada) pertengkaran di antara kami dan
kamu. Allah mengumpulkan kita dan kepada-Nyalah
kembali (putusan segala sesuatu) (QS Al-Syura [42):
15).
Al-Quran juga menganjurkan agar mencari titik singgung dan
titik temu antar pemeluk agama. Al-Quran menganjurkan agar
dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan
hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain, dan
tidak perlu saling menyalahkan.
Katakanlah, "Wahai Ahl Al-Kitab, marilah kepada satu
kalimat kesepakatan yang tidak ada perselisihan di
antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu
pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah." Jika
mereka berpaling (tidak setuju), katakanlah kepada
mereka, "Saksikanlah (akuilah eksistensi kami) bahwa
kami adalah orang-orang Muslim" (QS Ali 'Imran [3]:
64).
Bahkan Al-Quran mengajarkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan
umatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain, setelah
kalimat sawa' (titik temu) tidak dicapai:
Kami atau kamu pasti berada dalam kebenaran atau
kesesatan yang nyata. Katakanlah, "Kamu tidak akan
ditanyai (bertanggungjawab) tentang dosa yang kami
perbuat, dan kami tidak akan ditanyai (pula) tentang
hal yang kamu perbuat." Katakanlah, "Tuhan kita akan
menghimpun kita semua, kemudian menetapkan dengan
benar (siapa yang benar dan salah) dan Dialah Maha
Pemberi Keputusan lagi Maha Mengetahui (QS 34: 24-26).
Jalinan persaudaraan antara seorang Muslim dan non-Muslim sama
sekali tidak dilarang oleh Islam, selama pihak lain
menghormati hak-hak kaum Muslim,
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berbuat
adil (memberikan sebagian hartamu) kepada orang-orang
yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS
Al-Mumtahanah [60]: 8).
Ketika sebagian sahabat Nabi memutuskan bantuan
keuangan/material kepada sebagian penganut agama lain dengan
alasan bahwa mereka bukan Muslim, Al-Quran menegur mereka
dengan firman-Nya:
Bukan kewajibanmu menjadikan mereka memperoleh hidayah
(memeluk Islam), akan tetapi Allah yang memberi
petunjuk orang yang dikehendaki-Nya. Apa pun harta
yang baik yang kamu nafkahkan (walaupun kepada
non-Muslim), maka pahalanya itu untuk kami sendiri ...
(QS Al-Baqarah [2]: 272).
3. Untuk memantapkan persaudaraan antar sesama Muslim,
Al-Quran pertama kali menggarisbawahi perlunya menghindari
segala macam sikap lahir dan batin yang dapat mengeruhkan
hubungan di antara mereka.
Setelah menyatakan bahwa orang-orang Mukmin bersaudara, dan
memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika
seandainya terjadi kesalahpahaman di antara dua orang
(kelompok) kaum Muslim, Al-Quran memberikan contoh-contoh
penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap Muslim
melakukannya:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kaum (pria)
mengolok-olokkan kaum yang lain, karena boleh jadi
mereka (yang diolok-olokkan) itu lebih baik daripada
mereka (yang mengolok-oLokkan); dan jangan pula
wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita yang
lain, karena boleh jadi wanita-wanita yang
diperolok-olokkan lebih baik dan mereka (yang
memperolok-olokkan), dan janganlah kamu mencela dirimu
sendiri, dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan
gelar-gelar yang buruk. Sejelek-jeleknya panggilan
adalah (sebutan) yang buruk sesudah iman. Barangsiapa
tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim (QS Al-Hujurat [49]: 11).
Selanjutnya ayat di atas memerintahkan orang Mukmin untuk
menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan
orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan oleh Al-Quran
seperti memakan daging-saudara sendiri yang telah meninggal
dunia (QS Al-Hujurat [49]: 12).
Menarik untuk diketengahkan, bahwa Al-Quran dan hadis-hadis
Nabi Saw. tidak merumuskan definisi persaudaraan (ukhuwwah),
tetapi yang ditempuhnya adalah memberikan contoh-contoh
praktis. Pada umumnya contoh-contoh tersebut berkaitan dengan
sikap kejiwaan (seperti terbaca di dalam surat Al-Hujurat ayat
11-12 di atas), atau tecermin misalnya dalam hadis Nabi Saw.
antara lain,
Hindarilah prasangka buruk, karena itu adalah
sebohong-bohongnya ucapan. Jangan pula saling
mencari-cari kesalahan. Jangan saling iri, jangan
saling membenci, dan jangan saling membelakangi
(Diriwayatkan oleh keenam ulama hadis, ke An-Nasa'i,
melalui Abu Hurairah).
Semua itu wajar, karena sikap batiniahlah yang melahirkan
sikap lahiriah. Demikian pula, bahwa sebagian dari redaksi
ayat dan hadis yang berbicara tentang hal ini dikemukakan
dengan bentuk larangan. Ini pun dimengerti bukan saja karena
at-takhliyah (menyingkirkan yang jelek) harus didahulukan
daripada at-tahliyah (menghiasi diri dengan kebaikan),
melainkan juga karena "melarang sesuatu mengandung arti
memerintahkan lawannya, demikian pula sebaliknya."
Semua petunjuk Al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang berbicara
tentang interaksi antarmanusia pada akhirnya bertujuan untuk
memantapkan ukhuwah. Perhatikan misalnya larangan melakukan
transaksi yang bersifat batil (QS 2: 188), larangan riba (QS
2: 278), anjuran menulis utang-piutang (QS 2: 275), larangan
mengurangi atau melebihkan timbangan (QS 83: 1-3), dan
lain-lain.
Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, Al-Quran secara
tegas memerintahkan orang-orang Mukmin untuk merujuk Allah
(Al-Quran) dan Rasul (Sunnah). Tetapi seandainya terjadi
perbedaan pemahaman Al-Quran dan Sunnah itu, baik
mengakibatkan perbedaan pengamalan maupun tidak, maka petunjuk
Al-Quran dalam hal ini adalah:
Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu (karena
tidak menemukan petunjuknya dalam teks Al-Quran dan
Sunnah), maka kembalikanlah kepada Allah (jiwa
ajaran-ajaran Al-Quran), dan (jiwa ajaran-ajaran)
Rasul, jika memang kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
bagimu dan lebih baik akibatnya (QS Al-Nisa' [4]: 59).
KONSEP-KONSEP DASAR PEMANTAPAN UKHUWAH
Setelah mempelajari teks-teks keagamaan, para ulama
mengenalkan tiga konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut
perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
a. Konsep tanawwu'al-'ibadah (keragaman cara beribadah)
Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktekkan Nabi
Saw. dalam bidang pengamalan agama, yang mengantarkan kepada
pengakuan akan kebenaran semua praktek keagamaan, selama
semuanya itu merujuk kepada Rasulullah Saw. Anda tidak perlu
meragukan pernyataan ini, karena dalam konsep yang
diperkenalkan ini, agama tidak menggunakan pertanyaan, "Berapa
hasil 5 + 5?", melainkan yang ditanyakan adalah, "Jumlah
sepuluh itu merupakan hasil penambahan berapa tambah berapa?"
b. Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr (Yang salah dalam
berijtihad pun [menetapkan hukum) mendapat ganjaran).
Ini berarti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang
ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran
oleh Allah Swt., walaupun hasil ijtthad yang diamalkannya
keliru. Hanya saja di sini perlu dicatat bahwa penentuan yang
benar dan salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang Allah
Swt. sendiri, yang baru akan diketahui pada hari kemudian.
Sebagaimana perlu pula digarisbawahi, bahwa yang mengemukakan
ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah
memiliki otoritas keilmuan, yang disampaikannya setelah
melakukan ijtihad (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan
hukum) setelah mempelajari dengan saksama dalil-dalil keagaman
(Al-Quran dan Sunnah).
c. Konsep la hukma lillah qabla ijtihad al-mujtahid (Allah
belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan
oleh seorang mujtahid).
Ini berarti bahwa hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum
Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihadnya
berbeda-beda. Sama halnya dengan gelas-gelas kosong, yang
disodorkan oleh tuan rumah dengan berbagai ragam minuman yang
tersedia. Tuan rumah mempersilakan masing-masing tamunya
memilih minuman yang tersedia di atas meja dan mengisi
gelasnya --penuh atau setengah-- sesuai dengan selera dan
kehendak masing-masing (selama yang dipilih itu berasal dari
minuman yang tersedia di atas meja). Apa dan seberapa pun
isinya, menjadi pilihan yang benar bagi masing-masing pengisi.
Jangan mempersalahkan seseorang yang mengisi gelasnya dengan
kopi, dan Anda pun tidak wajar dipersalahkan jika memilih
setengah air jeruk yang disediakan oleh tuan rumah.
Memang Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. tidak selalu
memberikan interpretasi yang pasti dan mutlak. Yang mutlak
adalah Tuhan dan firman-firman-Nya, sedangkan interpretasi
firman-firman itu, sedikit sekali yang bersifat pasti ataupun
mutlak. Cara kita memahami Al-Quran dan Sunnah Nabi berkaitan
erat dengan banyak faktor, antara lain lingkungan,
kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan tentu saja tingkat kecerdasan
dan pemahaman masing-masing mujtahid.
Dari sini terlihat bahwa para ulama sering bersikap rendah
hati dengan menyebutkan, "Pendapat kami benar, tetapi boleh
jadi keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru,
tetapi mungkin saja benar." Berhadapan dengan teks-teks wahyu,
mereka selalu menyadari bahwa sebagai manusia mereka memiliki
keterbatasan, dan dengan demikian, tidak mungkin seseorang
akan mampu menguasai atau memastikan bahwa interpretasinyalah
yang paling benar.
UKHUWAH DALAM praktek
Jika kita mengangkat salah satu ayat dalam bidang ukhuwah,
agaknya salah satu ayat surat Al-Hujurat dapat dijadikan
landasan pengamalan konsep ukhuwah Islamiah. Ayat yang
dimaksud adalah, Sesungguhnya orang-orang Mukmin bersaudara,
karena itu lakukanlah ishlah di antara kedua saudaramu (QS 49:
10). Kata ishlah atau shalah yang banyak sekali berulang dalam
Al-Quran, pada umumnya tidak dikaitkan dengan sikap kejiwaan,
melainkan justru digunakan dalam kaitannya dengan perbuatan
nyata. Kata ishlah hendaknya tidak hanya dipahami dalam arti
mendamaikan antara dua orang (atau lebih) yang berselisih,
melainkan harus dipahami sesuai makna semantiknya dengan
memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadapnya.
Puluhan ayat berbicara tentang kewajiban melakukan shalah dan
ishlah. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata shalah diartikan
sebagai antonim dari kata fasad (kerusakan), yang juga dapat
diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata islah
digunakan oleh Al-Quran dalam dua bentuk: Pertama ishlah yang
selalu membutuhkan objek; dan kedua adalah shalah yang
digunakan sebagai bentuk kata sifat. Sehingga, shalah dapat
diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada sesuatu
agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan
kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak
menyertainya hingga tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai,
maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai tersebut, dan
hal yang dilakukannya itu dinamai ishlah.
Jika kita menunjuk hadis, salah satu hadis yang populer di
dalam bidang ukhuwah adalah sabda Nabi Saw. yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar:
Seorang Muslim bersaudara dengan Muslim lainnya. Dia
tidak menganiaya, tidak pula menyerahkannya (kepada
musuh). Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan
saudaranya, Allah akan memenuhi pula kebutuhannya.
Barangsiapa yang melapangkan dan seorang Muslim suatu
kesulitan, Allah akan melapangkan baginya satu
kesulitan pula dan kesulitan-kesulitan yang
dihadapinya di hari kemudian. Barangsiapa yang menutup
aib seorang Muslim, Allah akan menutup aibnya di hari
kemudian.
Dari riwayat At-Tirmidzi dari Abu Hurairah, larangan di atas
dilengkapi dengan,
Dia tidak mengkhianatinya, tidak membohonginya, dan
tidak pula meninggalkannya tanpa pertolongan.
***
Demikian terlihat, betapa ukhuwah Islamiah mengantarkan
manusia mencapai hasil-hasil konkret dalam kehidupannya.
Untuk memantapkan ukhuwah Islamiah, yang dibutuhkan bukan
sekadar penjelasan segi-segi persamaan pandangan agama, atau
sekadar toleransi mengenai perbedaan pandangan, melainkan yang
lebih penting lagi adalah langkah-langkah bersama yang
dilaksanakan oleh umat, sehingga seluruh umat merasakan
nikmatnya.[]