Rabu, 13 Agustus 2008

BAGAIMANA AGAR SHOLAT SAYA KHUSYU’ ?

Pertama-tama harus kita ketahui bahwa Allah tidak pernah memerintahkan kita untuk khusyuk dalam shalat. Dalam Al-Quran maupun hadis tidak ada satu kalimat pun yang berbentuk fi’il ‘amr (kalimat perintah) tentang khusyuk. Kenapa? Karena Allah Mahatahu bahwa manusia memang mengalami kesulitan untuk bisa khusyuk sekalipun dia itu seorang ulama atau kyai. Memang belum ada pakar tentang khusyuk dalam sejarah intelektual Islam yang benar-benar representatif.

Bahasa Al-Quran menyebut orang yang khusyuk dengan sebutan “Khâsyiûn” firman Allah : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS Al-Mu’minûn[23]:1-2)

Bentuk kata Khosyi’un, adalah bentuk Fa’il, bukan kata perintah tetapi semacam prize (penghargaan luar biasa) bahwa Anda termasuk orang-orang khusyuk. Karena itu anda sebagai fa’il, atau pelaku khusyu’.
Cukup menarik apa pernah diungkapkan oleh Syaikh ibn Atha’illah Al-Sakandari, pengarang kitab Al-Hikam. Beliau mengatakan, “Jika Anda ingin shalat khusyuk lalu Anda berusaha sekuat tenaga untuk khusyuk, Anda malah tidak bisa khusyuk.”

Inilah bukti jika seseorang yang sedang shalat dikhusyuk-khusyukkan, apalagi dadanya ditekan-tekan untuk khusyuk akhirnya malah tidak bisa khusyuk. Kenapa? Karena keinginan Anda untuk khusyuk itu merupakan bagian dari hawa nafsu. Hawa nafsu untuk ingin khusyuk, oleh sebab itu Anda malah terhalang dari khusyuk itu sendiri.

Lalu bagaimana caranya khusyuk? Beliau melanjutkan: “Caranya khusyuk, yaitu ketika Anda menyadari bahwa shalat Anda tidak khusyuk itu adalah Takdir dari Allah. Terimalah takdir Allah saat itu bahwa Anda tidak atau belum ditakdirkan khusyuk. ” Ya Allah, aku terima bahwa saat ini aku belum bisa khusyuk.” Kelak anda dihantar khusyu’ oleh Allah. Jadi Al-khusyuk itu lebih semacam sebagai al-ahwâl itu sendiri Apakah Ahwal itu?
Jika disebut: Laa haula wala Quwwata Illa Billah. Artinya, Tidak ada kekuatan secara batin dan kekuatan lahir kecuali bersama Allah. Karena dari kalimat haulun ini berkembang jamaknya menjadi ahwâl. Ini adalah kondisi ruhaniah, ketika kita khusyuk, masuklah di dalam ahwâl al-qalb, karena itu merupakan gerak gerik qalbu kita.

Khusyuk itu tentu bersemayam di dalam hati, bukan dalam tingkah laku. Jika Anda berjalan dengan menekuk leher anda, menunduk, itu tidak bisa dibilang bahwa anda orang yang khusyuk. Dulu ada seorang pemuda yang seperti itu, lalu dibentak oleh Sayyidina Umar r.a, “Hai fulan khusyuk itu bukan di situ, (khusyuk itu di dada Anda).

Elemen Khusyu’
Jadi, khusyuk itu membutuhkan elemen-elemen yang mendukung. Dukungan khusyuk itu antara lain al-Khudhu’. Khudhu’ artinya ketundukan hati kepada Allah. Orang khusyuk juga harus mempunyai perasaan al-tawakkul (kepasrahan). Tawakkul artinya ketika kita shalat, zikir menghadap Allah, mestinya hati kita juga harus pasrah menghadap kepada Allah. Jiwa anda, bagaikan sajadah yang anda gelar. “Ya Allah, inilah saya, apa adanya, kupasrahkan lahir batin saya ke[padaMu…”.

Anda, jangan menghadap Allah, seperti orang yang mengajukan proposal. “Ya Allah, sudah sekian tahun saya sujud, zikir, wirid, tahajud, maka saya mohon dipenuhi permintaan saya….”

Pada saat itu seseorang merasa menutupi kelemahannya. Dia melebih-lebihkan dirinya, padahal Allah itu butuh as-sidqu, (kejujuran hati), bukan kejujuran mulut. Allah Mahasenang kepada orang-orang yang jujur di hadapan-Nya. “Ya Allah, saya ini lebih banyak jeleknya daripada baiknya….” Allah lebih senang pada orang seperti itu, daripada yang mengatakan, “Ya Allah, saya sudah melakukan ini, dan itu… namun doa saya belum juga dikabulkan….” Lebih baik bicara apa adanya kepada Allah. Itulah antara lain usaha untuk khusyuk.

Selanjutnya, dalam Al-Quran disebutkan:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah” (QS Al-Hadîd [57]:16)
Dzikrullah, merupakan elemen utama dalam Khusyuk. Dzikrullah di situ secara spesifik disebutkan sebagai mata uang dengan dua sisi, yaitu khusyuk dan zikrullah. Karena itu sejumlah ulama kemudian membangun satu metode bagaimana agar seseorang bisa khusyuk. Ada yang mengatakan, jika Anda ingin shalat khusyuk, ingatlah makna-makna di dalam shalat.

Lalu, bagaimana jika seseorang tidak mengetahui maknanya apakah dia bisa shalat khusyuk?
Saya ingin sedikit memberi solusi yang sedikit berbau filosofis tentang khusyuk. Ada seorang ulama sufi menegaskan, jika Anda ingin khusyuk, seluruh bacaan yang Anda baca itu, Anda maknai Allah…Allah…Allah… semua, bukan makna yang lainnya. Jadi, Basamalah pun, artinya “Allah”.

Sayyida Utsman bin Affan r.a. pernah meriwayatkan satu hadis. Rasulullah ditanya oleh sahabat Nabi di dalam satu forum, “Kalau Al-Quran itu bukan makhluk, lalu apakah huruf hijaiyah itu makhluk?” Dijawab oleh Rasulullah: La, Huruf Hijaiyah itu bukan makhluk; Alif, Baa’, Taa’ sampai Ya’ itu juga bukan makhluk, Rasulullah melanjutkan: Alif itu asma Allah, ta’ juga asma Allah, sampai ya’ itu Asma Allah. Jadi Asmâul husna yang 99 itu sebenarnya kalau dalam struktur organisasi itu semacam Dewan Pengurus Pusat (DPP-nya) Asmaul Husna. Sedangkan di atas DPP-nya itu adalah Huruf Hijaiyah. Ini semacam kunci bahwa Allah benar-benar menyertai dan mengawal apa pun bentuk ucapan, wacana, kata, dan huruf.

Karena itu, seorang sufi mengomentari hadis tersebut: Jika Anda bicara, menulis, berucap, berucaplah yang baik, karena Anda menggunakan Nama-nama Allah untuk menyampaikan kata-kata Anda. Anda yang memaki orang, berbicara jorok, berarti menggunakan Nama Allah untuk ucapan kotor. Jika Nama-nama Allah dipakai untuk hal-hal seperti itu, awal dosa mulai tercatat, karena kita memanipulasi Nama-nama Tuhan untuk kepentingan hawa nafsu kita, produknya adalah kalimat yang jorok, misalnya.

Oleh sebab itu, ulama sufi itu melanjutkan, jika Anda ingin shalat khusyuk, maka ketika membaca Basmalah (bismillahirrahmanirrahim), jika artinya “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”, hanyalah arti menurut “pikiran kita,” tapi menurut akal kita, Basmalah itu artinya tidak demikian. Basmalah itu sesungguhnya, merupakan kristalisasi dari seluruh Nama-nama Allah. Semua Nama-nama Allah mengerucut, bermuara, satu ke arah Al-Rahmân, satu ke arah lagi ke Al-Rahîm. Al-Rahmân yang disebut sebagai kristalisai dari Asma’ Jalaliyah-Nya, sedangkan al-Rahîm untuk asma Jamaliyah. Kedua nama ini masuk dalam Asma yang disebut ism al-a ‘dham, yaitu “Allah.”

Bukan Perantara
Ada satu hal yang harus disadari, bahwa shalat itu bukan sebagai suatu perantara menuju Allah. Shalat itu menjalankan perintah, jangan dianggap shalat itu sebagai syariat atau jalan, jadi kalau kita sudah sampai kita tidak usah shalat. Itu merupakan jebakan filosofis. Shalat itu menjalankan perintah, yaitu perintah Allah kepada kita sebagai hamba Allah. Jika kita bukan hamba Allah, kita tidak menjalankan perintah-perintah-Nya. Jadi inilah esensi khusyuk, dengan elemen tunduknya hati, kepasrahan, kejujuran hati dan mengetuk hati dengan nama Allah, menghantar kita untuk khusyuk.

Khusyuk itu sebagai wujud anugerah dari ahwâl al-qalb, gerak-gerik hati, amaliah qalbu kita. Khusyuk tidak hanya ketika kita shalat, namun ketika kita melakukan aktivitas apa saja mestinya hati kita senantiasa berzikir (mengingat) Allah. Ketika bekerja, jangan sampai kita kehilangan Allah. Kita melatih hati, misalnya: mengetik di komputer, pikirannya membaca, akalnya menganalisa, hatinya berbunyi Allah. Tanpa latihan, itu takkan tercapai, bahkan dilatih saja masih sulit, apalagi yang tidak pernah melatih dzikirnya sama sekali.

Bagi para ibu mungkin bisa melatih diri ketika menonton sinetron “sabun” yang sangat dramatis. Ketika menonton tv, pikiran kita melihat ceritanya, namun hati kita bersama Allah. Jika hati kita bersama Allah, ketika ceritanya sedih, kita tak ikut menangis, ketika ceritanya lucu juga tak ikut tertawa.

Di samping mengingat Allah ketika berdiri, juga mengingat Allah ketika duduk, dan bahkan ketika tidur. Bagaimana tidur yang berzikir itu? Yaitu setelah membaca doa-doa tidur, tetap berzikir untuk mengingat Allah (istigfar, subhanAllah, Allah…Allah… dsb) sampai pulas kita tetap berzikir. Jika Allah ingin memberi pahala bagi orang yang berzikir, walaupun Anda ‘ngorok’, akan tetap dihitung oleh Allah, karena pada saat itu hati kita selalu dijaga Allah.

Bahkan menurut cerita dari kitab Syarhul Hikam, ada salah seorang sufi, ketika ia melakukan hubungan suami isteri, tetap berzikir dalam hati. Sufi ini mempunyai putra banyak sekali dan masih kecil-kecil, lalu ada rombongan ulama datang. Putra Syaikh ini lari-lari menuju ayahnya, ayahnya memangkunya, lalu sang anak kecil ini protes: “Ayah saya ini masih ber-‘bunyi’, kenapa Ayah memangku saya? Syaikh ini berkata kepada rombongan ulama: “Itu tadi anak saya, maksudnya ber‘bunyi’ yaitu dadanya berbunyi Allah, Allah.” Salah satu ulama protes: “Wahai Syaikh, kenapa si kecil itu sudah diajari tarekat.” Dijawab oleh Syaikh: “Kata Rasulullah, (Carilah ilmu dari ayunan sampai liang lahat), lebih baik anak saya sejak lahir bahkan dalam kandungan sudah saya ajari zikir. Pertama kali kalimat yang didengar oleh anak saya, ketika lahir di dunia harus nama Allah, anak-anak saya semua dadanya berzikir.” Akhirnya para ulama itu berpikir: “Bagaimana agar mempunyai seorang anak seperti anak Syaikh ini?” Akhirnya Syaikh tersebut menjelaskan: agar anak-anak Anda berzikir semua, maka ketika Anda melakukan hubungan suami istri, Anda harus mempunyai wudhu dan sampai akhir harus berzikir, setelah selesai, langsung mandi dan shalat sunnah. Jika Allah menakdirkan anak itu lahir, insya Allah akan memiliki bahan baku zikir yang luar biasa. SubhanAllah!

Tidak ada komentar: